Wednesday, January 28, 2009

1 Suro



Seperti biasa saya selalu terlambat, terlambat posting maksudnya. Kali ini mo cerita soal 1 Suro, tapi bulan Suro-nya udah kemanaaa... sekarang baru cerita. Yaa maklum deh, beginilah kalo masih jadi kuli, niatan posting selalu tertunda2.

Bagi sebagian masyarakat kita (orang Jawa pada khususnya), 1 Suro selalu diidentikkan dengan hal2 mistis. Kan ada tu pelemnya "Malam 1 Suro", yang maen Suzana. Dari nama pemainnya saja sudah bisa ditebak bahwa isinya ndak ada sama sekali yang menyangkut sejarah, yang ada berbau mistis dan alam gaib.

Saya sebenernya tertarik dari sisi sejarah, "ada apa sih dengan 1 Suro?". Dan dari sekian banyak keraton yang masih eksis (dalam arti kata aktip), Kasunan Surakarta Hadiningrat (bener gak ya nyebutinnya?) masih menjalankan ritual kirab pusaka pada malam menjelang 1 Suro. Kalo keraton2 lainnya saya ndak tau ya, apakah mereka juga menjalankan ritual khusus menyambut hadirnya 1 Suro ato tidak.

Kebetulan pada perayaan 1 Suro kemarin, saya berkesempatan untuk ikut perayaan tersebut. Konon kirab 1 Suro sudah dilakukan sejak keraton Surakarta berdiri, dengan tujuan untuk memohon keselamatan keraton. Nahh... saat kirab ini, semua pusaka keraton dikeluarkan, yang sebelumnya sudah dijamasi (bukan dikramasi ya, awas salah mbaca...!) alias dicuci, jadi namanya kirab pusaka. Kirab ini diawali oleh barisan kebo bule yang katanya ke-empat2nya (saat itu hanya ada 4) bernama Kyai Slamet. Kirab dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi (kawasan) keraton dari menjelang tengah malam hingga keesokan subuhnya. Bahkan para abdi dalem melakukannya dengan bertelanjang kaki. Untuk acara kirab ini, seluruh abdi dalem mengenakan baju hitam, kecuali saya yang pede sendiri pake baju putih, hehehe (maap ndoro... abis ndak ada lagi).

Kebo bule Kyai Slamets (karena kebonya banyak) sudah ada sejak awalnya keraton Surakarta ada (kalo ndak salah...) dan dipercaya membawa berkah. Dan karena anggapan inilah Kyai Slamets dibiarkan bebas begitu saja, toh nyatanya sudah turun temurun mereka berkeliaran disekitar keraton dan tidak pernah kabur. Pernah ada cerita, kebo bule suatu hari jalan2 ke pasar (krn letak keraton dan pasar memang dekat) dan disana memakan sayur mayur yang dijual pedagang, tapi karena dipercaya membawa berkah, mereka dibiarkan saja, mungkin pedagang berpikir, dengan dagangannya dimakan kebo bule, nantinya dagangan akan laris manis tanjung kimpul, dagangan laris, senyum simpul (halahhh...).

Bukan soal itu saja, bahkan kotoran kebo bule Kyai Slamet juga dipercaya membawa berkah. Lalu apa yang terjadi? ketika salah satu dari mereka membuang kotoran, masyarakat langsung berebut mengambil kotorannya. Bagi kita orang awam, mgkn kelihatannya jorok, tapi yang jelas efeknya jalanan menjadi bersih seketika, hehe. Ternyata bukan itu saja yang menjadi rebutan, air bekas menjamasi pusaka juga dijadikan rebutan, dengan kepercayaan yg sama...; bisa membawa berkah.

Kirab pusaka setiap 1 Suro ternyata masih menarik bagi sebagian besar masyarakat Solo yang hingga kini masih bersedia penuh sesak memadati jalan2 yang dilalui rombongan kirab, dengan tujuan untuk menonton. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tentu banyak nilai yang berubah di masyarakat. Jika dulu penonton kirab pusaka menyaksikannya dengan penuh khidmad, patuh dan kooperatif, kini tidak lagi. Berjubelnya manusia yang sulit diatur, bahkan untuk membuka jalan bagi rombongan kirab saja sulit. Bisa ditebak, ujung2nya malah terjadi keributan.

Bagi saya 1 Suro masih menyimpen misteri, bukan karena hal yang mistis, tapi karena setelah bertanya2 kesana kemari tetap tidak menemukan jawaban logis ato latar belakang yang kuat tentang ritual 1 Suro, bahkan banyak hal lainnya di kebudayaan Jawa (lho? jadi melebar yaa?). Seperti untuk apa semua pusaka dikeluarkan pada malam menjelang 1 Suro? apakah tadinya dengan alasan ingin memperlihatkan pusaka2 yang dimiliki Keraton pada masyarakat? Lalu apa sih yang melatarbelakangi kotoran kebo bule bisa membawa berkah? Siapa sih yang awalnya bikin gara2? (hehehe). Lalu apa sih sebenernya peranan kebo bule Kyai Slamet? sehingga mereka diperlakukan istimewa? Apa dulunya punya andil terhadap keraton? bekerja keras untuk keluarga keraton misalnya, ato ada andil saat perang kemerdekaan? (imajinasi logika saya sungguh memprihatinkan yaa...) Yahh pokoknya masih banyak lah pertanyaan dibenak saya, dan blm menemukan jawaban yang memuaskan (bagi saya).

Bukan soal itu saja. Bahkan ketika saya ijin untuk memotret acara ini, saya disarankan untuk memakai samir sebagai penolak bala. Knp? apa kalo ndak pake samir nanti tertimpa musibah gitu? Saya sendiri mengikutinya semata2 hanya karena menghormati pihak keraton, itung2 punya suvenir juga, hihihi. Tapi yang membuat saya lebih sedih, ketika beberapa waktu sebelumnya saya berkunjung ke Keraton (bagian museumnya...). Saat tiba disebuah ruang yang berisi gong besar dan diorama pentas wayang kulit, sang gaet (guide maksudnya) mulai menjelaskan hal2 mistis "disini pernah ada uji nyali bla bla bla", dan begitu seterusnya, isinya hanya penjelasan mistis "uka-uka" dan "uji nyali". Sepertinya lebih menarik jika sisi sejarahnya dikedepankan (bagi saya lho yaa...), seperti misalnya... sejarah apa sih yg terkandung dalam sebuah peninggalan?

Apa mungkin memang tidak semua hal bisa diceritakan secara logis dalam budaya kita? Apa memang sejarah dan budaya kita tidak bisa lepas dari hal2 mistis dan magis? Ya sutra lah... daripada bingung, mending liat foto2 saya yang kurang oke, hehehe... maklum sudah lama ndak "turun gunung", sekalinya "turun" tengah malem plus jalan kaki pula, byuh byuh byuh... O iya foto2nya so pasti goyang duyuuu... karena low light mbakyu... kan ndak boleh pake flash... takut kebonya kocar-kacir. Yukk marii...

Pengiring kebo bule, sebelum kirab dimulai melakukan ritual doa dengan sesajen


Abdi dalem yg duduk didalam areal keraton, sebelum kirab dimulai



Susah banget ni motret kebo bule. Tau sendiri lah kebo, pastilah ndak bisa diem, menga mengo terus, jadinya kalo dipotret ambyar (kyk nggoreng peyek yaa?). Ini foto yg paling mending.



Dan kirab pun dimulai...


Rombongan kirab melewati alun2 Utara

Suasana jalan di kota Solo, penuh sesak dipadati masyarakat yang antusias melihat kirab pusaka 1 Suro.

Catatan si Rey :
special thanks buat Repondes Sunundriyo (gue suka namanya nih, hehehe) dan eyangnya atas bantuan yg diberikan. Tau gak Repondes artinya apa? REbo PON DESember, kekekeekekkk... makanya gue suka namanya, unik... =)

8 comments:

Bude Judes said...

wakakak jenenge kereeeeennn. jadi inget boso perancis RSVP hahahaha

Anonymous said...

hehe jadi inget nama saklitinov :D
kamu tau saklitinov?

btw nggak dapet foto2 keris gitu rey?

sayurs said...

sebenernya mau ikut juga sih diskusi ttg 1 (satu) suro itu, tapi tahu diri aja lah, belum2 saya sudah percaya dan yakin apapun bahasannya jeng Rey ini pasti ga ada puasnya *hayah* (he..he..)
@atas saya: Saklitinov = sabtu kliwon tiga november ?

Manda La Mendol said...

trus kamu ikutan ngalap berkah yo rey ? kamu ikutan ambil eek kebo apa air kum-kum keris ?

Anonymous said...

1 suro merupakan kebudayaan daerah yang patut dilestarikan untuk mengundang wisatawan. Btw dapet oleh2 kebo bule nggak?

Rey said...

@Dena: boso prancise RSVP opo mbak?

@Fahmi: ndak ada mi, kan aku ndak ikutan pas cuci2 keris, lagipula banyaknya tombak mi.

@Sayur: mesti kok yo... ra gelem diskusi. Akhirnya aku dapet penjelasan dr antropolog UGM. Soal beginian emang gak bs diapa2in emang udah dasarnya masyarakat kita tumbuh dgn klenik. Sayang yaa... padahal kan enakan klepon, dalemnya manis... :p

@Manda: aku sak jane enthuk eek kebo mbak. Pas nyang ngarepku ujug2 kebone nlethok, mendadak ki uwong dho nyerbu, ta' pikir arep nyembah aku, bulane rebutan eek. Aseemmm... aku kesurung2, terdesak2 mbak, nganti megap2

@Hery: baik kebo maupun bule, apalagi gabungan keduanya, ndak dapet pak... :))

Anonymous said...

Di kraton ndak da kebo negro ya Rey? :D:D:D

zam said...

kebetulan wong solo, saya coba share sedikit, ya..

soal kebo kyai slamet, yg dipake itu bukan kyai slametnya, namun keturunan dari kebo kyai slamet. kebonya sendiri udah mati dan tengkoraknya bisa dilihat di museum Kraton Surakarta.

ceritanya begini, suatu saat kraton solo terkena wabah penyakit. tiada yg bisa nyembuhin penyakit itu hingga datanglah orang bernama Kyai Slamet yang bisa menyembuhkan penyakit itu. pihak kraton senang dan akhirnya si kyai diangkat menjadi keluarga kraton.

ketika si kyai meninggal, dia berubah menjadi seekor kerbau berwarna putih (kebo bule) yang saat itu merupakan warna kerbau yg ndak biasa, sehingga saat itu kerbaunya dikramatkan.

ada cerita kalo sebelum kirab, itu kebo bakal ngilang. dicari-cari ndak ketemu di tempat biasa si kebo nongkrong. nah pas kirab dah mo dimulai, tiba-tiba aja tuh kebo udah siap-siap menjadi cucuk lampah kirab. :p

soal tai kebo yg diambil mangsarakat, ada cerita. saat itu tanah di sekitar solo kan gersang, nah tai kebo itu kan kemudian bisa diolah jadi pupuk kandang, makanya mangsarakat mengambil tai itu untuk dijadikan pupuk supaya subur. kebiasaan ngambil tai ini yg kemudian ditiru mangsarakat tanpa tau sebabnya..

terus soal kirab, emang sejak jaman dulu, kirab pusaka ini dilakukan untuk "membentengi" (secara gaib) lokasi daerah kekuasaan kraton. kenapa pusaka yg dipake, karena pusaka dipercaya memiliki kekuatan. oiya, pusaka-pusaka yg dikeluarkan ini tiap tahun berbeda-beda. ada seseorang abdi dalem berpangkat tertentu yg menentukan pusaka-pusaka apa yg dikeluarkan utk dikirab. pusaka ini dikeluarkan sesuai dengan keadaan sekitar. misal kalo pas lagi krisis duit, dikeluarkan pusaka yg bisa menolak krisis duit, begitu kira-kira..

soal jamasan pusaka, memang keris itu ndak boleh dibersihkan setiap hari. secara fisik, sering kena air, bisa membuat benda pusaka itu berkarat. soal kenapa harus 1 suro, ini ndak lepas dari pengaruh sunan kalijaga yg mengasimilasi kebudayaan islam dgn jawa. bulan muharram kan ada hari assyuro, nah di jawa, dilakukan pada bulan asyura, bulan yg baik ini.

kalo di jogja, kirabnya ndak pake kebo. tetep pake pusaka juga. dan ada satu tradisi lagi, yaitu tapa bisu. ketika melakukan kirab, peserta kirab ndak boleh berbicara.

aku pernah liat kirab ini dan nuansa mistisnya terasa banget. mungkin yg punay sixth-sense bakal bisa ngerasain, tapi buat warga biasa ya ndak bakal ngerasa apa-apa. :D

soal sampir, kebiasaan ini setauku cuma berlaku di kraton solo. fyi, kraton solo emang lebih mistis dan "kolot" daripada kraton jogja. kain merah-kuning itu memang dipercaya dapat menolak bala. warna kuning terinspirasi dari janur kuning yg juga dipercaya bias menolak bala..

wah, panjang juga ya.. ini komentar atau posting? :p